Oleh: Bambang Dwi Waluyo
Pekerjaan di sektor industri kreatif semakin populer. Masyarakat muda Indonesia kini banyak yang bercita-cita menjadi desainer, penulis, animator, atau—yang paling populer—konten kreator. Profesi-profesi ini dianggap “bebas”, “bermakna”, dan selaras dengan “passion”. Narasi yang tersebar di media sosial mengagungkan pekerjaan kreatif yang ideal: bisa bekerja dari mana saja, tanpa atasan, tanpa jam kantor.
Namun di balik itu semua, ada ancaman ketidakpastian ekonomi, beban kerja yang tinggi, dan tanpa jaminan sosial apa pun. Kita menutup mata, seakan penderitaan adalah harga yang pantas untuk kebebasan semu yang ditawarkan pekerjaan kreatif.
Di zaman ketika makna menjadi langka dan identitas dijual dalam potongan-potongan, pekerja kreatif sering diposisikan sebagai sosok romantis: disalahpahami, tak kenal lelah, dan entah bagaimana selalu merasa terpenuhi lewat perjuangan. Tapi yang jarang diucapkan adalah biayanya. Deadline yang menggerus malam-malam tanpa tidur, revisi yang tak ada habisnya, dan pembayaran—kalau datang—sering terlambat, nominalnya kecil, atau hanya berupa ucapan terima kasih. Tetap saja, kita diminta untuk bersyukur: untuk kesempatan, untuk eksposur, untuk bisa mengerjakan apa yang kita sukai.
Namun cinta, berlawanan dengan fantasi, tidak menghapus beratnya beban pekerjaan. Cinta tidak melenyapkan kelelahan, tidak membebaskan kita dari biaya hidup, rasa lapar, atau sakit.
Pekerjaan kreatif tidak menjadi ringan hanya karena tidak melibatkan fisik. Kalau pun ada bedanya, justru lebih berat—karena ide dan pikiran pekerja menjadi bahan bakunya. Ia menguras waktu, energi, bahkan jiwa. Dan saat menuntut kompensasi yang setara, pekerja kreatif justru dianggap tak tulus.
Di situlah jebakannya. Pekerja kreatif bukanlah karyawan, tapi juga bukan orang bebas. Mereka adalah buruh tanpa perlindungan hukum, tanpa asuransi, tanpa jaminan kontrak. Mereka hidup dalam ruang abu-abu: terlihat saat produktif, dibungkam saat tak lagi berguna. Sebutan mereka boleh berbeda—freelancer, kontraktor, kolaborator—tapi nasibnya sama: terisolasi, rawan, dan tak terlihat.
Ada yang tragis dari cara kita membicarakan pekerjaan kreatif hari ini. Kita mengaminkannya sebagai keindahan, tanpa peduli dampaknya. Kita memuja kebebasannya, tapi memalingkan muka dari kekacauan yang dihasilkannya. Atau mungkin kita berada di tengah antara kekaguman dan keabaian—membiarkan buruh kreatif berdamai dengan kontradiksinya: “tak apa menderita, yang penting bebas, bermakna, dan sesuai passion.”
Di dunia yang kontradiktif ini, pekerja kreatif terus dihadapkan pada pilihan: antara idealisme atau bertahan hidup, antara makna atau kelelahan. Seorang pelukis yang tak mampu membeli cat. Seorang penulis yang tak bisa membayar sewa. Mereka bertahan bukan karena naif, tetapi karena telah menyerah pada absurditas dunia yang menghargai visibilitas, namun menghukum kerentanan.
Beginilah absurditas modern: bukan dalam tragedi besar, tetapi dalam erosi martabat yang berlangsung diam-diam di balik slogan “pekerjaan impian”. Seseorang bisa mencintai pekerjaannya dan tetap menderita. Bisa bangga dengan karyanya dan tetap dieksploitasi. Dunia menuntut keindahan, namun tak menyediakan perlindungan bagi penciptanya. Menyebut kebenaran ini bukan tanda keputusasaan, tapi bentuk perlawanan. Karya kreatif punya nilai. Kelelahan itu nyata. Dan passion, meski penting, bukanlah kontrak kerja.
Pekerja kreatif tidak butuh pujian berlebihan. Mereka butuh kontrak yang jelas. Mereka butuh kepastian bayaran yang adil. Karya mereka memperkaya hidup banyak orang, tapi sering kali dengan mengorbankan kehidupan mereka sendiri. Jika kita benar menghargai seni, lindungi senimannya. Jika kita ingin menghormati kreativitas, perjuangkan hak mereka yang menciptakannya.
Sampai keadilan bagi pekerja kreatif terwujud, mereka akan terus hidup dalam ketidakpastian. Mereka akan terus mencipta, bertahan, dan hidup—meskipun tetap mencintai pekerjaannya. Tapi cinta itu tidak boleh jadi alat untuk memanfaatkan mereka. Passion bisa jadi alasan untuk bekerja. Tapi hanya keadilan yang bisa membuat pekerjaan itu pantas dijalani.
*Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, pegiat isu sosial-politik dan hubungan internasional.