Susah-Senang Menjadi Buruh Kreatif di Banjarmasin

Bekerja di sektor kreatif penuh dengan tantangan bagi sebagian anak muda di Banjarmasin. Meski jam kerja fleksibel dan bisa berkarya sesuai passion (kegemaran, red), mereka acapkali menghadapi masalah ketenagakerjaan. Upah yang terlambat dibayar, misalnya. Juga, minimnya perlindungan kerja.

Salah satu yang merasakannya adalah Munir Shadikin, seorang pekerja film yang nyaris sepenuhnya menggantungkan hidup dari proyek-proyek kreatif.

Munir memulai karier di dunia film sejak lulus dari jurusan broadcasting dan film di Yogyakarta pada 2017. Sejak itu, ia bekerja secara lepas dan berbasis proyek tanpa pernah menjadi pekerja tetap—kecuali sempat mengajar di sekolah menengah kejuruan dengan program studi film.

Dalam pengamatannya, dunia film lokal di Banjarmasin memiliki dua wajah: komunitas sukarelawan dan komunitas profesional. Namun, keduanya sama-sama belum menjamin hak-hak dasar pekerja.

“Hanya sekitar 10 persen proyek yang menyediakan kontrak kerja tertulis,” ungkap Munir, mengacu pengalamannya bergelut di perfilman lokal.

Sistem pembayaran pun tak menentu. Beberapa proyek membayar harian, sebagian berdasarkan proyek, dan hampir tidak ada yang menerapkan sistem gaji bulanan. Keterlambatan pembayaran juga sering terjadi, terutama pada proyek-proyek pemerintahan.

Soal jaminan kerja? Hampir nihil. “Saya hanya pernah sekali kerja di proyek yang menyediakan asuransi, itu pun nilainya sangat kecil,” katanya.

Dalam kasus kecelakaan kerja, tanggung jawab biasanya dibebankan pada produser, tapi tanpa kontrak kerja yang rinci. Solidaritas antarkru lebih sering jadi andalan.

“Hari Buruh jadi pengingat bahwa pekerja film adalah buruh yang hak-haknya masih jauh dari layak.”

Munir menilai perhatian pemerintah terhadap sektor kreatif masih bersifat kosmetik. Padahal, menurutnya, pekerja film berhak atas perlindungan dan kepastian kerja sebagaimana buruh di sektor lain.

“Perlu peraturan daerah yang benar-benar mengatur hak-hak pekerja film,” tegasnya.

Meski kondisi tak ideal, Munir tetap bertahan. Ia mengisi berbagai peran—penulis, sutradara, editor—sebagai strategi bertahan hidup. “Menjadi spesialis sangat sulit di industri lokal seperti Banjarmasin,” ucapnya.

***

Berbeda bidang, namun tak jauh dari tantangan serupa, Elly telah menekuni dunia event organizing (EO) sejak 2018. Dari kru lapangan, kini ia dipercaya jadi project manager untuk sejumlah proyek. Meski kini bekerja kantoran penuh waktu, Elly tetap aktif mengambil proyek EO secara freelance.

“Saya biasa manfaatkan malam dan akhir pekan buat koordinasi dan persiapan teknis acara,” ceritanya.

Menjelang hari-H acara, ritme kerja begitu padat. Di luar musim event, ia pakai waktu untuk menyusun konsep dan memperluas jejaring. Namun, di balik kemeriahan acara, dunia EO menyimpan ketidakpastian.

“Orang cuma lihat meriahnya aja, padahal di balik layar sering banget revisi dan perubahan mendadak,” ujarnya.

Elly kini sedang membangun brand EO-nya sendiri dan tengah bersiap menangani event besar bulan Mei ini. Sistem pembayaran dalam EO umumnya per proyek, tapi risiko keterlambatan atau bahkan kegagalan pembayaran tetap nyata. Ia toh pernah mengalaminya.

“Biasanya karena masalah administrasi internal atau klien belum bayar. Makanya, kontrak kerja yang jelas dan komunikasi tegas itu penting banget dari awal,” tegasnya.

Sebagai freelancer, Elly harus mengurus BPJS dan asuransi secara mandiri. Belum ada perlindungan kerja formal yang dia dapatkan.

“Sudah saatnya pekerja EO dihargai—kontrak adil, pembayaran tepat waktu, sampai jaminan sosial,” tambahnya.

***

Dari dunia film dan EO, kita bergeser ke musik. Ayub Simanjuntak telah berkecimpung dalam skena musik sejak 2009. Meski sebagian besar hidupnya bersentuhan dengan musik, pendapatan utamanya justru sering datang dari pekerjaan lain.

Ayub memilih jalur grassroots—berbasis komunitas dan mandiri—ketimbang masuk industri besar. Ia aktif sebagai musisi, penggerak acara, hingga mendampingi band.

“Sistem kerja dan bayaran tergantung proyek atau jenis event,” jelasnya.

Kontrak kerja jarang ada, dan Ayub pernah mengalami kasus tidak dibayar sesuai kesepakatan. Perlindungan kerja seperti jaminan kesehatan juga tak pernah ia dapat secara formal. Meski begitu, ia melihat perlakuan terhadap musisi lokal mulai membaik.

Solidaritas antarmusisi tetap menjadi kekuatan utama dalam komunitas. Mereka sering gotong-royong mengadakan acara tanpa sponsor, walau menghadapi kendala seperti venue terbatas dan biaya perizinan tinggi.

“Kami dorong terus perbaikan kondisi kerja musisi, tapi jangan sampai kebebasan berekspresi malah dibatasi pemerintah,” kata Ayub.

Fleksibel tetapi Rentan

Riset yang dilakukan oleh SINDIKASI pada 2021 memang mengungkapkan fakta mencengangkan tentang kondisi pekerja kreatif di Indonesia.

Dari 199 responden, lebih dari 67% pekerja kreatif di sektor film, musik, seni pertunjukan, dan event organizing tidak memiliki kontrak kerja tertulis. Hal ini menyebabkan ketidakpastian terkait upah dan perlindungan kerja.

Sebanyak 42% responden mengungkapkan pengalaman keterlambatan atau pemotongan upah tanpa kejelasan, sementara hanya 12% yang mendapatkan akses jaminan sosial dari pemberi kerja.

Tantangan lain yang muncul adalah beban kerja yang tidak sebanding dengan imbalan, di mana banyak pekerja mengalami kelelahan fisik dan mental.

Isu ini dikenal dengan istilah flexploitation—eksploitasi dalam fleksibilitas kerja—yang mencerminkan ketidakadilan yang dialami pekerja kreatif yang sering kali harus bekerja dalam kondisi yang tidak terjamin dan tanpa dukungan formal dari negara. Meski demikian, solidaritas antarkomunitas pekerja menjadi tumpuan utama mereka dalam menghadapi tantangan ini.

Penulis: Donny Muslim

Editor : Musa Bastara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *