Jurnalis: Donny Muslim
BANJARTIMES– Puluhan aktivis lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah menggelar aksi di Jembatan Barito, Minggu (1/6), bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Mereka membentangkan spanduk bertuliskan: “Hentikan Deforestasi, Tambang Merusakan Hutan, Sungai dan Masa Depan Masyarakat Adat, Transisi Energi Sekarang, Save Meratus #EndCoalNow.”
Aksi ini menjadi refleksi atas krisis ekologis yang terus memburuk akibat aktivitas tambang batu bara dan deforestasi massif di Kalimantan. Jembatan Barito, yang menghubungkan dua provinsi di atas Sungai Barito, menjadi simbol bagaimana sungai ini kini bukan lagi sumber kehidupan masyarakat lokal, melainkan jalur logistik utama pengangkutan sumber daya alam dieksploitasi tanpa kendali.
“Setiap batang kayu yang tumbang untuk tambang batubara adalah simbol kegagalan negara dalam melindungi rakyat dan lingkungan hidupnya,” tegas Raden Rafiq, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan.
Data Walhi menunjukkan deforestasi di Kalimantan Selatan seluas 16.067 hektar pada 2023, sementara di Kalimantan Tengah mencapai lebih dari 63.000 hektar sepanjang 2023-2024. Sebagian besar deforestasi itu terjadi di kawasan izin tambang yang membebani ratusan ribu hektar lahan, termasuk ekosistem karst dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito.
“Deforestasi tidak hanya menghancurkan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, tetapi juga mempercepat krisis iklim dan memperparah kerentanan masyarakat adat dan lokal terhadap bencana ekologis. Masyarakat adat dan lokal yang selama ini menjaga hutan justru dijadikan korban dalam skema pembangunan yang eksploitatif sumber daya alam. Pemerintah tidak hanya gagal melindungi mereka, tetapi seringkali justru berpihak pada kepentingan modal yang menyebabkan konflik agraria yang masif di Kalimantan Tengah,” kata Bayu Herinata, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Tengah.
Di tengah ancaman kerusakan ini, ratusan tongkang batu bara hilir mudik di Sungai Barito, membawa kekayaan bumi ke luar pulau, tapi meninggalkan konflik sosial dan kerentanan bencana bagi masyarakat lokal.
Aksi di Jembatan Barito diakhiri dengan susur sungai di sekitar tongkang batu bara sebagai gambaran nyata dampak kerusakan lingkungan akibat tambang. Sungai Barito kini bukan hanya saksi bisu, tapi korban sistem ekonomi ekstraktif yang merusak daya dukung lingkungan Kalimantan.