Tiga Penulis Muda Kalsel Tawarkan Cerita Tak Biasa Lewat ‘Kiat-Kiat Menyelesaikan Masalah Asmara’

  • Teks: Donny Muslim
  • Foto: Arkalitera

BANJARTIMES— Suasana di Basecamp Inkubator Akademi Bangku Panjang, Minggu (20/7/2025) sore, terasa akrab dan hangat. Puluhan pegiat sastra, pembaca, hingga jurnalis berkumpul di sebuah ruang sederhana di Kota Banjarbaru. Mereka datang bukan sekadar untuk mendengar kupasan buku, tapi juga larut dalam perbincangan seputar karya sastra yang menawarkan sesuatu di luar kebiasaan.

Bedah buku kumpulan cerpen Kiat-Kiat Menyelesaikan Masalah Asmara menjadi pemicunya. Acara ini dihelat berkat kolaborasi empat komunitas; Arkalitera, Festival Wabul Sawi, Akademi Bangku Panjang, dan Home Learning Bhakti Pertiwi. Ketiganya menyajikan sebuah ruang temu bagi sastra muda Kalimantan Selatan.

Buku yang dibedah bukan kumpulan kisah cinta biasa. Tiga penulis muda Kalsel — Abdul Karim, Musa Bastara, dan Rafii Syihab — menaruh gagasan mereka dalam bentuk cerita-cerita pendek yang jauh dari pakem romansa konvensional. Nama mereka tak asing di kalangan komunitas sastra lokal. Dan kini, mereka mengajak pembaca ikut masuk ke semesta gagasan yang mereka bangun.

Tiga pembicara dihadirkan untuk membedah isi buku. Masing-masing membawa perspektif berbeda. Ada Muhammad Daffa, penulis muda yang kerap dikenal dengan pendekatan kritisnya; Naila Soraya Hasibuan, pembaca setia sekaligus pengamat sastra; dan Sandi Firly, penulis senior dengan gaya bertutur khas.

Tak Melulu Soal Cinta

Diskusi dimulai dengan ulasan dari Muhammad Daffa. Ia langsung menempatkan kumpulan cerpen ini di luar jalur cerita populer yang sering mengutamakan alur dan klimaks. Menurutnya, para penulis justru berani membiarkan cerita bergerak liar, keluar dari pola-pola baku.

Ia mengambil contoh cerpen Narator yang Tak Bertanggung Jawab karya Abdul Karim — sebuah cerita yang sengaja melepaskan kontrol alur, bahkan berpindah cerita tanpa penjelasan.

“Cerita ini membebaskan narasi untuk bergerak sendiri, bahkan pindah ke cerita lain tanpa penjelasan. Hal semacam ini membentuk gaya khas yang tak mengutamakan keterikatan bentuk,” ujar Daffa.

Namun, lanjutnya, keberanian bereksperimen itu tetap dikawal agar cerita tak terasa dibuat-buat. Tokoh-tokohnya, kata Daffa, tidak mencoba tampil sok penting atau meminta empati pembaca secara berlebihan.

“Tokoh-tokohnya tidak sok penting dan tidak berusaha mengajak pembaca untuk merasa kasihan. Ini penting, karena menjaga cerita tetap jujur,” katanya.

Daffa juga menangkap pola tematik yang cukup kuat. Hampir semua cerita, menurutnya, menempatkan perempuan sebagai pusat gagasan — mulai dari sosok pembawa pengetahuan, penantang kekuasaan, hingga penjaga sejarah.

“Dalam cerpen Perpustakaan Uma, Dendam Tak Lebih Kejam Dari Maut, hingga Kiat-Kiat Menyelesaikan Masalah Asmara, perempuan digambarkan sebagai sosok yang membawa pengetahuan, melawan kekuasaan, atau menjadi penyambung sejarah,” paparnya.

Judul yang Mengecoh

Lalu giliran Naila berbicara. Ia mengaku sempat terkecoh dengan judul buku ini. “Judulnya memang terdengar seperti buku tips percintaan, tapi isinya justru kompleks dan menantang. Banyak cerita membawa wacana sejarah, mitos, bahkan filsafat,” jelasnya.

Menurut Naila, pendekatan eksperimental yang digunakan para penulis menjadi daya tarik tersendiri, sekaligus tantangan bagi pembaca.

“Di satu sisi, pembaca diajak berpikir dan menafsir. Namun di sisi lain, banyak tokoh dalam cerita tidak digambarkan cukup dalam, sehingga pembaca sulit terhubung secara emosional,” ujarnya.

Ia menilai, alur yang kadang tidak runtut dan narasi yang padat gagasan bisa jadi membuat pembaca merasa jauh dari karakter-karakter di dalamnya.

“Alur ceritanya kadang tidak runtut. Narasinya padat dengan gagasan. Tapi akibatnya, pembaca bisa kehilangan kedekatan dengan tokoh. Kita tidak cukup diberi ruang untuk memahami atau bersimpati,” sambungnya.

Namun demikian, Naila tetap mengapresiasi keberanian para penulis mengeksplorasi bentuk dan struktur cerita.

“Buku ini menawarkan cara baru dalam menikmati cerpen. Tak sekadar membaca, tapi juga menguji cara kita memahami cerita,” ungkapnya.

Cerita dan Kopi

Sesi pembedahan ditutup dengan gaya santai ala Sandi Firly. Alih-alih menelaah dengan gaya formal, ia memilih mengaitkan pengalaman membacanya dengan secangkir kopi.

Beberapa cerpen, kata Sandi, justru terasa seperti teman minum kopi — ada yang menambah nikmat, ada yang terasa hambar, bahkan ada yang seperti “kopi hitam yang disimpan di sudut rumah untuk datu-datu”.

Ia bahkan menyebut salah satu cerpen hampir menambah kenikmatan kopinya, “tapi terganggu oleh biji ampas,” katanya, merujuk pada detail-detail cerita yang menurutnya kurang pas.

“Ada juga cerpen yang mirip Americano yang diolah dari biji kopi Arabica kualitas premium. Tapi, meski dinikmati di saat malam berhujan, kopi ini terasa masih belum bisa membangkitkan kenangan kepada mantan yang paling menyakitkan,” ujar Sandi dengan gaya khasnya.

Lebih dari Sekadar Bedah Buku

Diskusi tak berhenti di meja pembicara. Beberapa peserta turut menyampaikan pandangan dan tanggapan kritis atas isi cerpen-cerpen di dalam buku.

Meski begitu, hampir semua sepakat — Kiat-Kiat Menyelesaikan Masalah Asmara menghadirkan warna berbeda di tengah maraknya cerita populer yang seringkali seragam. Buku ini menjadi bagian dari semangat literasi lokal yang patut disambut.***