- Teks: Donny Muslim
- Foto: Bdwist
BANJARTIMES— Peraturan Wali Kota (Perwali) Banjarmasin Nomor 107 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Toleransi Kehidupan Bermasyarakat dibedah dan dinilai belum cukup kuat dalam hal pelaksanaan teknis di lapangan. Kritik dan saran ini mencuat dalam forum diskusi kelompok terarah (FGD) yang diselenggarakan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin di Restoran Lima Rasa, Rabu, 23 Juli 2025.
Perwali tersebut merupakan aturan turunan dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4 Tahun 2023, yang dimaksudkan sebagai payung hukum untuk menjaga kehidupan masyarakat yang beragam suku, agama, dan budaya di Kota Banjarmasin. Namun, para peserta FGD menilai bahwa regulasi itu belum membumi, dan belum menyentuh realitas sosial yang kompleks di masyarakat.
Direktur LK3 Banjarmasin, Abdani Solihin, menjelaskan bahwa tantangan utama dari kebijakan ini bukan lagi pada soal legalitas, melainkan pada bagaimana ia bisa dijalankan secara adil dan menyeluruh. “Perwali ini harus dikaji dan didiskusikan bersama agar tidak mendiskriminasi satu bagian masyarakat, sekecil apa pun. Bagaimana kebijakan ini bisa terselenggara di tengah masyarakat yang majemuk, itu pertanyaan pentingnya,” ujarnya.
Muhammad William Syabani, koordinator program Interfaith, menambahkan bahwa diskusi ini ditujukan untuk mengadvokasi regulasi agar tidak keluar dari semangat keadilan sosial. Menurutnya, FGD menjadi sarana agar publik ikut terlibat menilai sejauh mana aturan ini relevan dengan kebutuhan masyarakat. “Apakah perwali ini perlu adanya revisi atau tidak, itu dibicarakan di forum ini. Tujuannya agar jangan sampai perwali ini justru menimbulkan ketidakberpihakan negara terhadap beberapa kaum,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan aktif masyarakat dalam proses regulasi. “Tentu saja, perwali ini perlu, tapi masyarakat harus aktif, berkontribusi dalam pembuatan regulasi, dan FGD ini menjadi salah satu cara. Kita bisa menelaah lebih lanjut. Kira-kira apa dari perwalinya yang multitafsir, itu bisa disusun kembali,” tambah William.
Apa Kata Pembicara?
Kepala Bagian Hukum Pemkot Banjarmasin, Jefrie Fransyah, mengakui bahwa meskipun perwali sudah diundangkan sejak November 2024, proses penyusunannya berlangsung panjang dan masih membuka ruang untuk penyempurnaan. Ia menegaskan bahwa segala bentuk usulan revisi harus disertai dengan argumentasi yang kuat. “Walaupun perwali ini sudah diundangkan pada November 2024, tak menutup kemungkinan akan ada revisi nantinya. Tapi saran maupun revisi harus menunjukkan alasan jelas kenapa hal itu dimasukkan,” kata Jefrie.
Ia juga mencatat bahwa beberapa pasal dalam perwali belum memiliki petunjuk teknis yang jelas, seperti pada bagian fasilitasi kegiatan toleransi atau upaya koordinasi dengan aparat keamanan. Persoalan batas kewenangan pun menjadi catatan tersendiri yang perlu diperjelas agar tidak tumpang tindih dengan aturan di atasnya.
Aktivis keberagaman, Noorhalis Majid, menambahkan bahwa isu toleransi kerap kali direduksi hanya dalam isu agama. Padahal, di kota yang multikultural seperti Banjarmasin, masyarakat hadir membawa identitas dan keyakinan yang beragam, termasuk ideologi dan budaya. “Orang datang ke kota ini bukan hanya bawa uang dan barang, tapi juga ideologi, budaya, dan keyakinan. Maka kita butuh pelatihan mediasi dan modul toleransi yang melibatkan masyarakat,” ujarnya.
Ia juga mengusulkan agar pemerintah membangun sistem pengaduan publik yang memungkinkan masyarakat mengakses ruang penyelesaian konflik secara damai, serta memberikan penghargaan bagi tokoh atau warga yang berkontribusi dalam membangun budaya toleransi. Bagi Noorhalis, membangun dialog lintas identitas tidak bisa terjadi tanpa rasa setara dan saling percaya.
Sementara itu, kritik datang dari ahli hukum tata negara Mohammad Effendy. Menurutnya, pemerintah cenderung gemar membuat peraturan namun abai terhadap bagaimana aturan itu dijalankan. Akademikus ULM itu menilai perwali seperti ini akan percuma jika tidak disertai dengan langkah nyata yang terencana. “Percuma ada perwali apabila penegakkannya tidak konsisten. Harusnya ada database konflik, ada pemetaan potensi, dan yang utama: empati. Itu yang mulai hilang,” ujarnya.
Effendy juga menyoroti bahwa perwali tersebut belum menguraikan secara rinci ruang lingkup, program, maupun mekanisme pelaksanaan di lapangan. Tanpa hal itu, menurutnya, semangat toleransi hanya akan berhenti di tataran simbolik, tanpa daya laku yang konkret.
Perspektif dari komunitas Tionghoa diwakili oleh Willy Sebastian dari PSMTI Kalimantan Selatan. Ia menekankan pentingnya agar peraturan pemerintah tidak hanya bagus di atas kertas, tapi juga bisa dimengerti dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat paling bawah. “Peraturan pemerintah yang bagus tapi tidak dimengerti masyarakat akan percuma. Harus disosialisasikan lewat bahasa lokal, visual, tokoh-tokoh yang dipercaya,” katanya.
Willy juga mendorong pembentukan ruang dialog lintas generasi, khususnya bagi kalangan muda seperti Gen Z. Menurutnya, lingkungan yang miskin pemahaman tentang toleransi cenderung membentuk sikap intoleran yang diwariskan secara sosial.***