Menghapus Sekat, Merayakan Keberagaman: Cerita Pemuda Lintas Iman Hidup Bersama di Kampung Komunitas Dayak

  • Teks: Donny Muslim
  • Foto: LK3 Banjarmasin

BANJARTIMES– Sekelompok anak muda dari beragam agama dan latar belakang budaya meninggalkan hiruk pikuk kota untuk empat hari tinggal di Desa Kambiyain, salah satu komunitas Dayak Pitap di Pegunungan Meratus, Kabupaten Balangan. Mereka datang bukan sekadar berkunjung, tetapi untuk berbagi atap, makan di meja yang sama, dan merasakan kehidupan warga dari dekat.

Selama 7–10 Agustus 2025, mereka mengikuti program “Live In Antariman” yang diinisiasi Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin. Tujuannya sederhana: mempertemukan orang-orang berbeda keyakinan dalam ruang hidup yang sama, agar saling mengenal lewat pengalaman sehari-hari.

“Kerukunan bukan hanya soal hidup berdampingan, tapi hidup bersama,” kata Direktur LK3, Abdani Solihin. “Saling memahami dan menghargai adalah cara kita membangun mosaik kebinekaan yang indah.”

Pemuda Tinggal di Rumah Keluarga Angkat

Setiap peserta tinggal di rumah keluarga angkat. Rea, seorang peserta Muslim dari Banjarmasin, menempati rumah keluarga Dayak Kaharingan. “Kami makan bersama, ngobrol panjang setiap malam, dan belajar banyak hal tentang nilai hidup. Ternyata perbedaan tidak menghalangi kita untuk peduli,” ujarnya.

Bagi warga Kambiyain, kehadiran tamu ini bukan sekadar kunjungan. “Mereka datang bukan hanya untuk melihat, tapi ikut merasakan hidup di sini. Kami merasa dihargai,” tutur Gimang, tokoh adat Dayak Pitap.

Malam ketiga menjadi puncak pertemuan: Malam Kebhinekaan di balai adat. Lampu-lampu sederhana menerangi tarian tradisional Dayak, musik, dan pembacaan puisi. Di antara tawa dan nyanyian, rasa segan hilang.

“Melihat semua duduk, tertawa, dan bernyanyi bersama, saya merasa inilah Indonesia yang sebenarnya,” kata Glory, mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi GKE Banjarmasin.

Membongkar Prasangka

Tak hanya saling mengenal, peserta juga diajak membongkar prasangka terhadap agama lain. Noel dari Orang Muda Katolik mengaku banyak mendapat pencerahan. “Banyak anggapan keliru yang baru saya sadari. Penting untuk mengonfirmasi supaya kita tidak hidup dalam persepsi yang salah.”

Di siang hari, para peserta ikut warga menanam, memasak, atau sekadar berbincang di teras. Mereka juga mencatat cerita tentang adat, sistem bercocok tanam, ritual, hingga peran perempuan di masyarakat Dayak Pitap. Saufi, peserta dari UIN Antasari, menyoroti betapa tanah dan lingkungan menjadi pusat kehidupan warga. “Itu sebabnya mereka mempertahankan wilayah dari tambang dan perkebunan besar,” ujarnya.

Di desa tanpa sinyal kuat itu, hubungan manusia justru terasa lebih dekat. “Saya tidak hanya menemukan teman lintas agama, tapi juga belajar bahwa perbedaan bisa menjadi kekuatan,” kata Calvin dari Patria Banjarmasin.

Program ditutup dengan rencana tindak lanjut untuk kolaborasi sosial lintas komunitas. Dari Kambiyain, para peserta pulang membawa oleh-oleh yang tak bisa dibeli: keyakinan bahwa kebinekaan tumbuh ketika orang mau hadir, mendengar, dan hidup bersama.***