- Teks: Donny Muslim
- Foto: Warta Wasaka
BANJARTIMES– Ratusan masyarakat adat Dayak, aktivis lingkungan, dan mahasiswa menolak rencana perubahan status Pegunungan Meratus menjadi Taman Nasional. Aksi digelar di depan Kantor Sekretariat Daerah Provinsi Kalsel, Banjarbaru, diinisiasi Aliansi Meratus yang dikoordinatori Walhi Kalsel dan PW AMAN Kalsel.
Pegunungan Meratus membentang melintasi sembilan kabupaten di Kalsel dan menjadi bagian dari ekosistem yang menyambung ke Kalimantan Tengah dan Timur. Bagi masyarakat adat, wilayah ini bukan sekadar hutan, melainkan tanah ulayat yang menjadi sumber kehidupan turun-temurun. Petrus dari Loksado, Hulu Sungai Selatan, menegaskan, “Kami tak ingin terusir dari tanah adat kami.”
Anang Suriani, dari komunitas adat Dayak Pitap menyebut masyarakat adat di Kalimantan selatan telah mendiami Pegunungan Meratus jauh sebelum adanya Indonesia. Bagi Masyarakat Adat Meratus, hutan ibarat ibu yang memberi segala.
“Jika wilayah adat kami dijadikan sebagai taman nasional, kemana lagi kami akan pergi dan bagaimana kehidupan masa depan kami. Penetapan taman nasional juga akan menghilangkan budaya dan kearifan lokal dalam behuma. Jika masyarakat adat tidak menanam padi, sama artinya kami tidak melakukan aruh. Kami beraruh dari hasil behuma. Bagi kami, hutan adalah sumber penghidupan kami’, tegas Anang Suriani.
Apa Kata Gubernur Kalsel?
Gubernur Kalsel Muhidin menemui massa untuk dialog terbuka. Ia menegaskan, status Taman Nasional dimaksudkan untuk melindungi kawasan dari eksploitasi. “Dengan status ini, tidak akan ada penambangan di sana. Masyarakat tetap bisa berladang, berburu, menangkap ikan, dan melakukan aktivitas seperti biasa,” ujarnya.
Meski membuka dialog, Muhidin menolak menandatangani tuntutan Aliansi Meratus yang meminta Pemprov Kalsel membatalkan rencana Taman Nasional pada hari yang sama. Ia menilai permintaan itu justru menimbulkan masalah baru dan ia perlu diskusi lebih lanjut. Kemudian, solusi yang ditawarkan: berdialog langsung dengan kementerian di Jakarta, dengan biaya ditanggungnya sendiri.
“Kalau nantinya perubahan status taman nasional ini justru menyengsarakan rakyat, saya tidak akan menandatangani, dan saya siap berdiri di barisan masyarakat adat,” kata Muhidin.
Aliansi Meratus menilai kebijakan Taman Nasional tetap problematis. Mereka menyoroti pendekatan top-down yang berpotensi mengabaikan hak tanah ulayat serta praktik konservasi lokal yang telah terbukti menjaga ekosistem Meratus. “Seharusnya konsep dari masyarakat adat yang diakui sebagai kebijakan lokal, bukan kebijakan impor yang memicu konflik,” kata salah seorang peserta aksi.***