- Teks: Donny Muslim
- Foto: MedcentBjm
BANJARTIMES– Deru musik tradisi bercampur dentum ritme modern menggema di tepian Sungai Martapura. Selama tiga hari, 29–31 Agustus 2025, Festival Musik Tradisi Indonesia (FMTI) untuk pertama kalinya digelar di Kota Banjarmasin. Festival ini membawa tajuk “Antasan Banjar – Ethnogroove 2025”, memadukan kekuatan budaya lokal dengan denyut zaman.
Perhelatan ini berlangsung di Panggung Siring Balai Kota Banjarmasin dan dibuka secara resmi pada Jumat malam (29/8). Pembukaan dihadiri Asisten III Administrasi Umum Setda Provinsi Kalsel Dinansyah, Sekretaris Daerah Kota Banjarmasin Ikhsan Budiman, serta jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kalimantan Selatan.
Bagi Banjarmasin, festival ini hadir di momen istimewa, bertepatan dengan Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-499 dan Hari Jadi ke-75 Provinsi Kalimantan Selatan.
“Merupakan sebuah kehormatan besar bagi Kota Banjarmasin. Festival ini menjadi kado istimewa dari Kementerian Kebudayaan untuk seluruh masyarakat Banjarmasin,” ujar Ikhsan dalam sambutannya.
Arus Sungai, Arus Budaya
Tema Antasan Banjar – Ethnogroove dipilih karena mencerminkan identitas Banjarmasin sebagai kota yang tumbuh di tengah jaringan sungai. Kata Antasan berarti arus sungai, yang juga dimaknai sebagai aliran kehidupan. Sedangkan Ethnogroove menggambarkan denyut zaman yang menghubungkan tradisi dengan kekinian.
“Budaya tidak hanya untuk dikenang, tetapi untuk terus mengalir, menghubungkan, dan menghidupkan. Festival ini adalah ruang ekspresi seni budaya nusantara, tempat musik tradisi kita bisa bergema dan mendapat tempat yang layak,” ucap Ikhsan.

Selain pelestarian budaya, Ikhsan menekankan, FMTI juga berpotensi menjadi penggerak ekonomi kreatif dan ekonomi budaya. Festival ini diharapkan membuka peluang baru bagi pelaku seni untuk berkembang, sambil memberi nilai tambah bagi masyarakat.
“Kami berharap FMTI 2025 dapat menjadi inspirasi, manfaat nyata bagi masyarakat, dan tradisi baru festival musik yang berkelanjutan. Tempat musik tradisi kita terus tumbuh, lestari, dan relevan dari generasi ke generasi,” tambahnya.
Kolaborasi Tradisi dan Modernitas
Dinansyah, mewakili Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, menggarisbawahi kekayaan seni dan budaya di daerah ini, termasuk musik etnik Banjar yang memiliki keunikan tersendiri.
“Melalui FMTI, kita ingin memperlihatkan bahwa seni tradisi bisa berpadu indah dengan sentuhan modern, sehingga mampu menjangkau penikmat musik dari berbagai kalangan,” kata Dinansyah.
Ia berharap FMTI menjadi jembatan budaya yang mempertemukan seniman lokal dengan seniman nasional, sekaligus membuka ruang dialog lintas generasi.
“Semoga festival ini memberi inspirasi, memperkuat persaudaraan, dan menjadi wadah yang terus menghidupkan musik tradisi Indonesia,” ujarnya.
Didukung Kementerian Kebudayaan
Direktur Film, Musik, dan Seni Kementerian Kebudayaan RI, Syaifulah, menyampaikan alasan Banjarmasin dipilih sebagai kota pertama penyelenggaraan FMTI. Menurutnya, usia Kota Banjarmasin yang hampir lima abad menjadi latar yang tepat untuk merayakan tradisi dan memperkuat identitas budaya.
“Apalagi Banjarmasin ini umurnya sudah 499 tahun, ini yang kami mau angkat,” kata Syaifulah.
Ia memastikan Kementerian Kebudayaan RI akan terus mendukung kegiatan serupa di masa depan. “Kami ingin lebih banyak anak muda yang terlibat dengan musik tradisi,” ujarnya.
Festival yang Menghidupkan Kota Sungai
Selama festival berlangsung, panggung di tepi sungai dipenuhi pertunjukan musik dari berbagai kelompok tradisi Kalimantan Selatan dan provinsi tetangga. Festival ini bukan hanya menjadi ajang hiburan, tetapi juga wadah pelestarian budaya yang berpadu dengan semangat modernitas.
Dengan gema musik yang mengalun di sepanjang sungai, Banjarmasin mengukuhkan dirinya sebagai Kota Sungai sekaligus Kota Budaya, yang terus mengalirkan tradisi dari generasi ke generasi.