Puan-Puan yang Bertahan: Cerita Perempuan Jejangkit Memikul Beban di Tengah Kepungan Banjir

  • Teks: Soraya Alhadi
  • Foto: Soraya Alhadi
  • Praktik perkebunan kelapa sawit yang berdekatan dengan permukiman warga memicu polemik di Kecamatan Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan.
  • Kehadiran kebun monokultur skala besar itu dianggap memperparah banjir yang sudah bertahun-tahun melanda tujuh desa di wilayah ini.
  • Jejangkit pernah digadang sebagai lumbung pangan Kalimantan Selatan dan bahkan menjadi lokasi puncak Hari Pangan Sedunia 2018. Kini, banyak lahan pertanian ditinggalkan, sementara perempuan tetap bertahan mengolah sawah, menjaga agar Jejangkit tidak kehilangan masa depannya.

Hapsah (36), warga Desa Jejangkit Muara, Kecamatan Jejangkit, adalah salah satu perempuan yang masih bertahan mengolah lahan di tengah kondisi sulit itu. Ia merupakan ibu dari empat anak dan hidup bersama suaminya. Anak bungsunya masih duduk di bangku sekolah dasar, sementara yang lain sudah beranjak remaja.

Setahun terakhir, keluarga ini terdampak banjir yang lamban surut. Sebelum itu, mereka menggantungkan hidup dari sawah seluas setengah hektare yang dikelola sendiri. Namun, sejak akhir 2024, lahan tersebut terendam dan tak bisa lagi ditanami. Kehilangan sumber penghasilan utama memaksa Hapsah dan suaminya mencari cara lain untuk bertahan.

Kada nyaman mun beranai aja di rumah. Sesambil jua membantui laki becari (Tidak nyaman kalau berdiam saja di rumah. Sambil juga ikut bantu suami bekerja),” kata Hapsah kepada Banjartimes.

Hapsah sudah lama terbiasa memikul peran ganda: mengurus keluarga dan mencari nafkah. Namun, banjir yang tak kunjung surut membuat segalanya semakin berat. Genangan air yang muncul pada Desember 2024 bertahan hingga pertengahan 2025, membuat warga kesulitan bergerak dan mengolah lahan.

“Banjir ini mulai dari akhir tahun semalam nah(2024), sampai ini kadasurut jua. Ngalih betanam, ngalih juake mana-mana,” keluhnya.

Dalam kondisi seperti ini, Hapsah tetap berusaha membantu suaminya mencari penghasilan. Sesekali ia ikut menyusuri hutan dengan jukung untuk mencari galam — kayu yang bisa dijual sebagai bahan bangunan atau kayu bakar. Pekerjaan itu bisa memakan waktu dari pagi hingga menjelang petang. Namun, ia tak selalu bisa ikut, sebab harus memperhatikan anak-anaknya, terutama yang masih kecil.

Karena itu, Hapsah memilih pekerjaan yang lebih fleksibel. Alih-alih rutin ikut ke hutan, ia lebih sering bertani di lahan yang masih bisa diolah atau menjadi buruh harian di desa tetangga. Dengan cara itu, ia tetap bisa membantu menambah penghasilan keluarga tanpa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dari empat anak.

***

Sementara Hapsah berjuang di Desa Jejangkit Muara, cerita serupa juga terjadi hanya beberapa kilometer dari sana, di Desa Jejangkit Timur. Di pagi yang masih berkabut, Jumarti (56) tampak menaruh sepedanya di pinggir jalan. Ia lalu berjalan kaki menyusuri tepian hutan, melewati tanah basah dan becek selama kurang lebih dua puluh menit menuju petak sawah miliknya.

Setibanya di pinggir sawah, Jumarti terdiam sejenak. Ia memandangi hamparan hijau yang dulu menjanjikan kemakmuran, namun kini lebih sering membuat hatinya kalut. Sudah empat tahun lahan itu kerap terendam banjir, membuatnya berkali-kali gagal panen. Namun, menyerah bukanlah pilihan bagi Jumarti.

Bagi Jumarti, sawah bukan sekadar sebidang lahan. Di tempat itulah ia menggantungkan hidup. Untuk dirinya, dan juga untuk ibunya yang sudah renta. Sejak dua dekade lalu, ketika sang suami meninggal di tanah rantau, ia menjadi tulang punggung keluarga.

Ini pang lagi sumber pendapatan ulun. Handak kemana lagi mencari usaha yang lain? (Ini saja lagi sumber pendapatan yang ada. Usaha yang lain, mau kemana lagi mencari usaha yang lain?)” katanya pelan, sambil menunjuk petak-petak sawahnya yang kini sebagian mulai tak terurus.

Sawah Jumarti di Jejangkit Timur sebenarnya seluas satu hektare. Namun, dengan usia yang kian menua dan tanpa bantuan siapa pun, ia hanya sanggup mengelola seperempatnya. Sisanya dibiarkan terbengkalai, tertutup semak. Kekhawatiran kian besar setiap kali genangan banjir tak juga surut. Sawah yang dulu bisa diandalkan, kini tak lagi menjanjikan hasil. Cuaca yang semakin tak menentu membuat keadaan semakin parah.

Betanam sorang nih nyaman, kada lagi jadinya bepikiran menukar baras (Lebih nyaman menanam padi sendiri, tidak lagi kepikiran harus membeli beras),” ujarnya.

Meski tetap menanam, Jumarti sadar ia sering kali rugi. Pendidikannya hanya sebatas sekolah dasar dan bertani adalah satu-satunya keterampilan yang ia kuasai. Jika tidak ada tetangga yang mengajaknya bekerja sebagai buruh tani, ia hanya bisa bergantung pada lahan kecil yang masih sanggup ia urus. Motor tak ia miliki; hanya sepeda tua yang setia membawanya ke sawah atau sawah milik tetangga yang jaraknya tak terlalu jauh.

Untuk menyiasati pengeluaran, ia menanam sayuran di pekarangan rumah. Sesekali, ia memancing ikan di sungai atau di genangan sawah yang belum surut untuk dijadikan lauk. Sumber penghasilan lainnya hanyalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah yang datang tiga bulan sekali.

Dua anaknya kini telah berkeluarga dan tinggal jauh di luar desa, meninggalkan Jumarti seorang diri mengurus ibunya yang sering sakit-sakitan. Tubuhnya tak lagi muda, namun beban hidup tak pernah berkurang.

Kada kawa jua mengeluh, kada jadi hasil. Kaya ini pang nasib petani di sini, apalagi yang kaya aku ni (Tidak bisa juga mengeluh, tidak menghasilkan apapun. Seperti inilah nasib petani di sini, apalagi yang seperti aku ini),” ucapnya, dengan suara nyaris tenggelam oleh gemerisik angin di sawah sambil tetap menanam bibit padi.

***

Di tengah keterpurukan pertanian di Jejangkit, banyak petani yang mulai kehilangan pegangan. Sawah yang perlahan-lahan tak lagi menguntungkan memaksa mereka mencari cara lain untuk menghidupi keluarga sekaligus mempertahankan lahan. Pada saat itulah, berbagai pihak pemberi pinjaman datang seperti angin segar. Dari koperasi, bank, hingga rentenir, mereka silih berganti menawarkan uang dan janji manis kepada para petani yang sedang dilanda pesimisme.

Bayah adalah salah satu petani perempuan yang mencoba bertahan dalam situasi sulit ini. Dua tahun lalu, ia mengambil keputusan besar dengan meminjam uang dari PNM (Permodalan Nasional Madani) Mekaar sebesar tiga juta rupiah. Ia tahu itu bukan keputusan ringan. Namun, di dalam hati kecilnya, tersimpan harapan bahwa sawahnya bisa kembali menghasilkan seperti dulu, di masa-masa ketika panen melimpah dan hidup terasa lebih pasti.

Sebujurnya kaya taruhan ini, belum tahu berhasil atau gagal lagi. Tapi, coba aja dulu sayang jua kalau kada tepakai sama sekali (Sebenarnya ini seperti taruhan, belum tahu berhasil atau gagal lagi. Tapi, dicoba saja dulu, sayang juga kalau tidak terpakai sama sekali),” ujarnya sambil tersenyum getir.

Pinjaman itu tidak ia ambil sendirian. Bayah tergabung dalam kelompok beranggotakan sepuluh perempuan yang saling mendukung satu sama lain. Setiap pekan, mereka harus menyetor Rp75.000. Sekilas jumlah itu tampak kecil, tetapi bagi Bayah, angka sekecil apa pun bisa menjadi beban ketika penghasilan tak menentu dan gagal panen mengintai setiap musim.

Sementara Bayah tetap bertahan mengurus sawah, suaminya, Zaini, memilih merantau. Ia bekerja sebagai buruh angkut di tambang yang berjarak empat jam dari desa mereka. Setiap hari, Zaini memanggul batuan dengan harapan bisa mengirimkan uang ke rumah.

Kita ni hari-hari masih perlu duit, di sini kada cukup. Makanya sambil bececarian jua di luar supaya ada jua penghasilan. (Kita ini setiap hari tetap butuh uang, di sini tidak cukup. Makanya sambil mencari di luar supaya ada juga penghasilan).” ucap Zaini.

Bagi Bayah dan Zaini, menggarap sawah saat ini bukan lagi hanya soal tenaga seperti dulu. Segalanya membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Beda dengan waktu dulu, sekarang semua pakai uang. Menggarap satu hektare saja bisa sampai 10 jutaan modalnya (Beda kaya dehulu, wahini semuaan pakai duit. Menggarap satu hectare (Ha) aja bisa sampai 5 jutaan modalnya), ” terang Bayah.

Ada upah traktor yang harus dibayar, pupuk dan benih yang harus dibeli. Semua memerlukan uang tunai. Jika hanya mengandalkan hasil panen yang tak menentu, apalagi sering gagal, jelas tidak cukup untuk menutup kebutuhan keluarga dan ongkos produksi.

Salah Tempat Perkebunan Sawit

“Musim hujan, ya pasti banjir.”
“Kiriman air dari hulu sungai lagi banyak.”
“Jejangkit itu kaya mangkok, jadi wajar saja tergenang.”

Kalimat-kalimat seperti ini sering terdengar ketika bertanya tentang penyebab banjir di Jejangkit, Kabupaten Barito Kuala. Penjelasan itu terdengar masuk akal, namun juga menyiratkan sikap pasrah seolah banjir adalah sesuatu yang tak terhindarkan.

Namun, tidak semua warga sepakat dengan jawaban tersebut. Bagi sebagian orang, penjelasan itu terasa janggal. Salah satunya Ahmadi, warga Jejangkit Muara. Ia masih mengingat jelas bagaimana banjir dulu bukan kejadian rutin seperti sekarang. Menurutnya, setelah banjir besar tahun 2021, daerah mereka menjadi langganan banjir. “Habis banjir besar tahun 2021 itu, di sini jadi langganan banjir. Dulu itu banjir paling 10 tahun sekali, kada sampai kaya ini pang. Lawas merandam, maka tiap tahun. Aneh kalau cuman karena hujan dan air kiriman dari hulu,” ucapnya sambil menunjuk genangan air di pekarangan rumahnya.

Dari pengamatan Ahmadi, setelah banjir besar itu intensitas dan lama genangan semakin menjadi-jadi. Hanya hujan sehari dua hari saja, air sudah naik. Bahkan ketika curah hujan tidak terlalu tinggi, genangan tetap muncul. Hal ini membuat warga mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya berubah di wilayah mereka.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan kemudian melakukan investigasi bersama warga untuk mencari penyebab banjir yang semakin parah. Penelusuran itu mengarah pada dua perusahaan besar yang beroperasi di sekitar Jejangkit: PT Palmina Utama dan PT Putra Bangun Banua (PBB). Kedua perusahaan tersebut berada di bawah payung Julong Group, perusahaan agribisnis asal Tiongkok yang sudah beroperasi di wilayah ini sejak 2012.

Hasil investigasi WALHI pada tahun 2023 mengungkap dugaan pelanggaran serius terkait sistem pengairan dan pompanisasi yang dilakukan perusahaan di sekitar Sungai Jejangkit dan Sungai Alalak. Ringkasnya, jalur air dari Kecamatan Jejangkit terbagi menjadi dua: sebagian mengalir ke Sungai Alalak, sebagian lagi ke Sungai Barito. Namun, aliran air ke Sungai Barito kini terputus karena adanya izin operasional sawit PT PBB. Sementara itu, PT Palmina secara terus-menerus memompa air ke arah Sungai Alalak.

Masalahnya, kapasitas Sungai Alalak sudah tidak memadai. Dengan aliran yang hanya ke satu jalur, daya tampungnya tidak mampu menahan debit air yang terus meningkat, sehingga genangan di permukiman warga menjadi semakin parah.

“Perusahaan waktu itu mengakui kelalaiannya. Satu pompa dari mereka itu mengeluarkan air 200 liter per detiknya. Hanya 12 titik pompa yang bisa didatangi, sisanya kami masih kesusahan mengaksesnya saat itu,” terang Raden Rafiq Sefdian Fadel, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan.

Ia menuding perusahaan lalai karena tidak melakukan kajian terlebih dahulu untuk pengendalian air, serta menyayangkan sikap perusahaan yang menurutnya hanya memikirkan keuntungan sendiri. “Kompensasi apa pun yang diberikan perusahaan tidak sebanding dengan dampak ekologisnya,” tegasnya.

Sawit di Lahan yang Tidak Tepat

Persoalan semakin rumit karena wilayah Jejangkit merupakan lahan rawa gambut. Hadirnya sawit di ekosistem ini dinilai sebagai “salah tempat” karena gambut memiliki karakteristik yang sangat rapuh. Raden menyebut, jika lahan gambut sudah rusak, pemulihannya akan sangat sulit, sementara nilai ekonominya justru meningkat sehingga memicu eksploitasi lebih lanjut. “Susah bagi lahan gambut ini untuk pulih kalau sudah rusak. Nilai ekonominya pasti tinggi kalau sudah rusak gambutnya,” ucapnya.

Ahmad Surambo, Direktur Sawit Watch, juga menyayangkan pemberian izin perkebunan sawit oleh pemerintah di wilayah seperti ini. Ia menilai topografi rawa yang berada di dataran rendah pasti posisinya dekat sungai. “Sawit bukanlah tanaman yang bisa terendam air, jadi pihak perkebunan pasti melakukan upaya kanalisasi dan pembuatan tabat atau pintu air untuk mengatur air yang ada di area perkebunannya,” jelasnya.

Menurut Ahmad, rekayasa seperti itu seharusnya diminimalisasi dan sungai-sungai tidak boleh terganggu oleh aktivitas perusahaan. Jika aliran alami sungai diubah, dampaknya bisa fatal, seperti banjir yang kini terjadi di Jejangkit. Ia mengingatkan, “Harus ada wilayah lindung karena air harus dilindungi. Kalau sampai terjadi konversi seperti ini takutnya ngawur dan tidak detil. Tata Ruang RTRW Kabupaten, cek Amdal, juga UKL dan UPL-nya.”

Berdasarkan kajiannya, Ahmad menilai Kalimantan sudah seharusnya menghentikan upaya perluasan perkebunan sawit. Menurut perhitungannya, setiap tahun kebutuhan lahan sawit di Kalimantan mencapai 241,74 meter persegi. Pada 2022, luas lahan sawit eksisting di Kalimantan sudah mencapai 12,50 persen dari total wilayah pulau. “Jangan dimasifkan tanaman monokultur, diupayakan diversifikasinya atau tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya,” ujarnya.

Tahun 2023 menjadi momen yang penuh gejolak antara masyarakat dan pihak perkebunan sawit. Aliansi masyarakat yang jengah dilanda banjir terus-menerus pun terbentuk, diberi nama Tabuan.  Hingga akhirnya di tahun ini pula mereka bersama dengan WALHI Kalsel melaporkan dugaan tindakan penyelewengan oleh perusahaan PBB dan Palmina ke pengadilan.

Pihak warga meminta perusahaan menutup semua outletpompa air dari perusahaan yang mengarah ke kanal di jejangkit dan meminta dibukanya saluran air Sungai Jejangkit ke Sungai Barito.

Apa Kata Perusahaan?

Menanggapi tudingan yang diberikan, Rahmad Ade Hidayatullah selaku Vice DirectorJulong Group Indonesia menyanggah hal tersebut. Ia menyatakan dari awal izin konsesi perusahaan diberikan, mereka sudah melakukan kajian. Kajian mengenai Water Management System pun sudah ada dikantongi.  

Ia mengaku memahami kekesalan warga terhadap lahan perusahaannya yang kering, sedang di lahan perkebunan sawit kering.

“Awalnya memang perusahaan kami hanya memakai pintu air untuk menyalurkan air, tapi sejak banjir empat tahun yang lalu sudah berganti menjadi pakai mesin pompa. Akhirnya, sekarang mendingan banjirnya” ucapnya.  

Namun, ia membantah tudingan praktik membuang air ke Sungai Jejangkit oleh outlet milik Julong. Menurutnya, berlebihan apabila banjir hanya diarahkan kesalahannya kepada perusahaannya. Analisa timnya, Jejangkit yang berada di dataran rendah dan juga cekungan memang rentan mengalami banjir, ditambah tingginya curah hujan dan adanya air kiriman dari daerah hulu.

Perusahaan, kata Ade, berupaya mencari solusi. Seperti melakukan normalisasi sejumlah kanal di Jejangkit. Pihaknya menilai banjir yang terjadi kemungkinan karena sungai itu sudah lama tidak dinormalisasi akibat sedimentasi.

Namun, melalui berita acara Balai Wilayah Sungai Kalimantan (BWS) III menjelaskan bahwa water management system perkebunan sawit tidak dicantumkan secara detail pada AMDAL di Julong Group, untuk itu dalam addendum akan dilengkapi secara rinci dan mengikuti rekomendasi dari BWS Kalimantan III.

Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan BWSK3 pun melakukan kolaborasi terkait permasalahan banjir di Jejangkit. Akhirnya, tanggul menjadi solusi yang dianggap efektif sebagai upaya pemulihan. BWS, Pemerintah Kabupaten, bekerjasama membangun tanggul mengelilingi Kecamatan Jejangkit untuk menjaga area Jejangkit.

Terkait upaya pembangunan tanggul yang sudah rampung dilakukan ini belum ada tanggapan oleh BWS Kalimantan III. Banjartimes sudah berulang kali melakukan upaya konfirmasi untuk wawancara, namun belum ada respons sampai dengan saat ini.***