Bangun Usaha Kelompok Budidaya Ikan, Masyarakat di Paminggir Ingin Buktikan Warga Bisa Sejahtera Tanpa Sawit

  • Teks: Aldi Ihtihsan
  • Foto: BPP AP2SI Kalimantan Selatan
  • Warga Sapala dan Bararawa, HSU, mengembangkan budidaya ikan tauman melalui empat keramba berisi total 4.000 ekor ikan sebagai sumber penghidupan baru setelah menolak rencana masuknya perkebunan sawit.
  • Program ini dijalankan dalam skema perhutanan sosial, dengan pendampingan AP2SI dan Walhi Kalsel, serta mulai memberi manfaat ekonomi dan memperkuat gotong royong warga.
  • Pemerintah daerah mendorong keberlanjutan usaha, termasuk solusi pakan dan penguatan rantai pemasaran, dengan panen perdana dijadwalkan Desember 2025.

BANJARTIMES– Masyarakat yang tinggal di kawasan rawa Kecamatan Paminggir, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Kalimantan Selatan, terus mencari cara untuk memperkuat sumber penghidupan mereka. Salah satunya lewat budidaya ikan tauman, ikan lokal bernilai ekonomi tinggi yang tahan terhadap perubahan kualitas air.

Di Desa Sapala dan Bararawa, warga kini mengelola empat keramba yang mengapung di atas rawa. Dua keramba dikelola Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Rawa Sejahtera di Sapala dan dua lainnya oleh KUPS Rawa Maju di Bararawa. Masing-masing keramba diisi sekitar seribu ekor ikan, sehingga total populasi mencapai 4.000 ekor.

“Budidaya ini bukan sekadar bisnis. Ini cara kami menunjukkan bahwa rawa dan hutan bisa dikelola tanpa merusak alam, sekaligus menguntungkan warga,” kata Zakirin, Ketua KUPS Rawa Sejahtera.

Harga ikan di tingkat desa berkisar Rp35.000–Rp45.000 per kilogram, sementara di Banjarmasin bisa mencapai Rp50.000. Dari usaha ini, warga berharap bisa memiliki sumber pendapatan yang lebih pasti dibandingkan hanya mengandalkan tangkapan ikan dari alam.

Dari Nelayan Tangkap ke Budidaya

Bagi Masrani, warga Bararawa, perubahan itu terasa nyata. Selama ini ia mengandalkan hasil tangkapan harian ikan papuyu dan haruan.
“Sehari biasanya dapat Rp50 ribu sampai Rp70 ribu. Kalau musim ikan sepi, sering kali tidak cukup,” ujarnya. “Dengan keramba, kami punya penghasilan tambahan yang lebih pasti.”

Cerita serupa datang dari Nurhayati, anggota KUPS Sapala. Sejak kecil, ia sudah terbiasa membantu keluarganya menangkap ikan di rawa.
“Dulu semua serba sendiri. Kalau ada masalah, ditanggung sendiri,” ujarnya. “Sekarang kami berbagi tanggung jawab. Kalau satu keramba bermasalah, semua turun tangan membantu.”

Menurut Nurhayati, menjaga kualitas air menjadi tantangan tersendiri.
“Ikan tauman sensitif. Kalau air keruh atau berubah terlalu cepat, banyak ikan kecil yang mati. Kami butuh pelatihan dan obat-obatan untuk mengatasinya,” katanya.

Dari Penolakan Sawit ke Pengelolaan Rawa

Budidaya ikan tauman ini bukan muncul begitu saja. Ia berawal dari keresahan warga atas rencana konversi lahan rawa menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pada 2017 hingga 2019, kabar rencana itu semakin kuat terdengar. Warga Sapala dan Bararawa berkumpul dalam berbagai pertemuan untuk membicarakan masa depan mereka. Akhirnya, keputusan diambil: sawit ditolak.

“Kalau ada sawit, ikan bakal berkurang, kerbau mati. Kami tidak bisa hidup lagi,” kata Zakirin tegas.

Setelah menolak sawit, warga sadar mereka perlu memiliki dasar hukum untuk mengelola rawa. Dengan pendampingan Asosiasi Pendamping Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, warga membentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).

Upaya itu membuahkan hasil pada 2021, ketika LPHD memperoleh Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memberi hak resmi kepada warga untuk mengelola kawasan rawa.

Budidaya ikan tauman kemudian dipilih sebagai langkah awal, sejalan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 yang mendorong pengembangan silvofishery atau sistem pengelolaan hutan dan perikanan berkelanjutan.

Menguatkan Gotong Royong

Firdaus, perangkat Desa Sapala, melihat perubahan yang terjadi pada warganya.
“Dulu mereka jalan sendiri-sendiri. Sekarang mereka bergerak bersama. Kami ikut mengawal dan memberi informasi soal harga supaya warga tidak dirugikan,” ujarnya.

Latif, perwakilan Desa Bararawa, menambahkan, semangat gotong royong kini semakin terasa. Tantangan tetap ada, seperti menyatukan persepsi dan pembagian kerja antaranggota.

Meski hasil sudah mulai tampak, pekerjaan rumah masih menanti. Penguatan kelembagaan, peningkatan keterampilan teknis, akses permodalan, dan pemasaran menjadi fokus pendampingan AP2SI dan pemerintah desa.

Basrun, pendamping lapangan dari Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI), menyebut pendampingan menjadi kunci penting dalam proses ini. Ia melihat warga semakin memahami tata kelola hutan sekaligus langkah-langkah ekonomi kelompok.

“Selama ada kegiatan, masyarakat mulai betul-betul sadar cara mengelola hutan. Mereka juga mulai memahami apa yang harus dilakukan setelah izin keluar, termasuk langkah-langkah ekonomi kelompok,” kata Basrun.

Namun, ia mengakui tantangan tetap ada, termasuk soal keterbatasan warga dalam berbahasa Indonesia yang membuat sebagian kesulitan menyampaikan pendapat dalam diskusi. “Kendala komunikasi juga membuat mereka cenderung diam dalam diskusi. Ini tantangan tersendiri,” ujarnya.

Meski panen masih kecil dan belum stabil, Basrun optimistis usaha ini memiliki prospek cerah. Dengan pendampingan berkelanjutan, ia percaya kelompok ini bisa menjadi contoh pengelolaan rawa yang memberi manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan.

Pemerintah Tekankan Solusi Pakan dan Hilirisasi

Dukungan pemerintah daerah juga turut menguatkan program ini. Iwan Ruswandi, Kepala Bidang Pengawasan Sumber Daya Perikanan Dinas Perikanan HSU, menilai budidaya ikan yang dilakukan warga sudah cukup baik secara teknis.

Meski begitu, ia menekankan pentingnya memikirkan ketersediaan pakan sejak dini. “Kalau konsep budidaya berkelanjutan, kita harus memikirkan pakan alternatif. Jangan hanya mengandalkan hasil tangkapan dari alam,” kata Iwan. Ia mendorong warga mulai membudidayakan pakan sendiri, seperti membuat kolam khusus atau memanfaatkan maggot.

Jika hal ini tidak diantisipasi, ia khawatir warga akan menangkap ikan pakan dari alam dengan cara yang merusak lingkungan.

Iwan juga mengapresiasi program ini karena sudah mencakup aspek pemasaran dan pengolahan hasil. Menurutnya, rantai usaha yang lengkap dari hulu ke hilir menjadi modal penting untuk menjaga keberlanjutan. “Asalkan aspek keberlanjutan terus diperhatikan, program ini punya prospek yang cerah,” ujarnya.

Ahmad Miftahul Pauji dari AP2SI menambahkan sebagian besar target tahun ini sudah tercapai. Namun, ia menekankan perlunya pendampingan intensif agar kelembagaan kelompok semakin kuat dan perempuan bisa terlibat aktif dalam setiap tahap program.
“Output pendampingan harus terlihat dari penguatan kelembagaan dan keterlibatan perempuan,” kata Ahmad.

Ia menyebut anggaran awal Rp200 juta telah mencakup kebutuhan dasar, mulai dari penyediaan alat produksi hingga perencanaan bisnis.

AP2SI Kalsel sendiri telah menggelar lokakarya dan temu bisnis yang mempertemukan perwakilan dua desa dengan pelaku usaha dan pemangku kepentingan lainnya. Pertemuan ini diharapkan merumuskan strategi keberlanjutan dan memperkuat posisi kelompok dalam rantai ekonomi perikanan.

Sementara itu, panen perdana rencananya akan digelar pada Desember 2025 di kedua desa.