- Teks: Riyad Dafhi R.
- Foto: Riyad/Dok Banjartimes
- Narasi Perempuan melakukan kampanye Draw the Line di Pasar Terapung Lok Baintan, menolak ekspansi sawit dan tambang, serta menyerukan transisi energi berkeadilan.
- Aktivis perempuan menegaskan kerusakan lingkungan paling membebani perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat yang bergantung pada alam.
- Aksi ini mendorong kesadaran publik dan lahirnya kebijakan yang berpihak pada rakyat dan pelestarian alam.
BANJARTIMES— Sejumlah orang muda yang tergabung dalam Narasi Perempuan mengekspresikan keresahan atas kerusakan lingkungan yang terjadi di Kalimantan Selatan.
Pada Minggu (21/9) pagi, komunitas yang diisi oleh para perempuan muda asal Banjarmasin itu memilih Pasar Terapung Lok Baintan sebagai medan kampanye bertajuk ‘Draw the Line’.
Dari atas kelotok—perahu mesin—mereka membentangkan spanduk dan poster berisi seruan keras, ditujukan kepada masyarakat yang tengah berwisata.
Narasi yang mereka bawa diantaranya: “Hentikan Ekspansi Sawit dan Tambang di Lahan Gambut”, “Dorong Transisi Energi Berkeadilan Demi Masa Depan Rakyat dan Pelestarian Alam”, hingga “Perempuan, Masyarakat Adat, dan Kelompok Rentan Memikul Beban Krisis yang Bukan Mereka Ciptakan.”
Di sana, mereka juga mengajak para wisatawan Pasar Terapung untuk membicarakan isu yang tengah disuarakan.
Dampak Perubahan Iklim Kian Nyata
Ketua Narasi Perempuan, Shaffa Nadiba berkata, aksi ini merupakan buah keprihatinan mendalam atas krisis ekologis dan perubahan iklim yang kian nyata.
“Dampaknya sudah kita rasakan sekarang, seperti banjir yang makin sering terjadi. Itu buah dari akumulasi pembiaran, rusaknya lahan gambut, tambang yang serampangan, dan kebijakan politik yang tak berpihak kepada rakyat,” katanya.
Shaffa bilang, ketika alam rusak, kelompok paling terdampak justru adalah mereka yang tak pernah berkontribusi menciptakan krisis, terutama perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan kelompok rentan lainnya.
“Krisis yang kita alami berdampak amat luas, terutama ke sektor perekonomian masyarakat kecil,” ujarnya.
Ia mencontohkan, dampak nyata yang kini bisa dilihat adalah pada masyarakat adat dan lokal yang kehidupannya sangat bergantung pada alam, seperti berladang atau bertani.
“Ketika lingkungannya rusak dan musim tak lagi menentu, mereka yang pertama kali merasakan dampaknya. Hasil panen menurun, pola tanam terganggu, dan sumber penghidupan yang sejak lama mereka andalkan menjadi rapuh,” paparnya.

Perlu Dukungan Lebih Banyak Kelompok
Aksi ini pun diharapkan dapat membangkitkan kesadaran bersama di tengah masyarakat. “Semoga akan ada lebih banyak kelompok yang terketuk nuraninya untuk sama-sama memperjuangkan lingkungan yang lebih baik,” pesannya.
Mereka berkomitmen terus menyuarakan isu ini, baik lewat kampanye publik, diskusi bersama masyarakat, hingga mendorong lahirnya kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat dan alam.
Bagi mereka, menjaga kelestarian alam adalah soal memastikan masa depan generasi mendatang.
“Selama kerusakan masih terus dibiarkan, kami akan terus bersuara. Karena ini bukan hanya tentang perempuan, tapi tentang kehidupan kita semua,” tutur Shaffa.***

