- Teks: Riyad Dafhi R.
- Foto: XR Meratus
- Diskusi Draw The Line 2025 digelar XR Meratus di Banjarbaru, diikuti puluhan aktivis, mahasiswa, dan komunitas jelang Sidang Umum PBB dan COP30 di Brazil.
- Kritik utama yang mereka sampaikan pada eksploitasi Pegunungan Meratus yang mempercepat krisis iklim global melalui penebangan hutan, perusakan ruang hidup, dan pencemaran sungai.
- Seruan untuk hentikan perusakan hutan, lakukan transisi energi adil, dan akhiri kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan.
BANJARTIMES— Puluhan anak muda yang terdiri dari aktivis lingkungan, mahasiswa, komunitas solidaritas iklim, hingga masyarakat sipil berkumpul dalam Diskusi Draw The Line yang digelar XR Meratus di Wisma Graha Puspa Cendikiaz Banjarbaru, Minggu (21/9/25).
Forum ini menjadi bagian dari gerakan global Draw The Line 2025 yang digelar serentak di berbagai kota dunia menjelang Sidang Umum PBB dan KTT Iklim COP30 di Brazil.
“Gerakan ini menegaskan bahwa krisis iklim bukan lagi ancaman, melainkan sudah kian nyata yang kini dirasakan di berbagai belahan dunia, termasuk Kalimantan Selatan,” kata Koordinator Wira Surya Wibawa
Isu utama yang paling disoroti, kata Wira adalah aktivitas eksploitasi yang menggerogoti Pegunungan Meratus. Persoalan ini tak lagi bisa dilihat hanya sebagai isu lokal.
“Penebangan hutan, perusakan ruang hidup rakyat, hingga pencemaran sungai, telah menyumbang pelepasan karbon ke atmosfer yang mempercepat perubahan iklim global. Luka di Meratus adalah bagian dari luka besar krisis iklim dunia,” ujarnya.
Melalui forum ini, mereka membedah hubungan antara krisis iklim dan demokrasi yang kian tergerus.
Mereka juga menonton film dokumenter lingkungan yang merekam perjuangan Save Meratus, lalu mendiskusikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
Hentikan Perusakan Pegunungan Meratus
Dalam seruannya, anak-anak muda Kalimantan Selatan menuntut negara menghentikan perusakan hutan Meratus oleh tambang, sawit, dan proyek ekstraktif lain yang merampas ruang hidup rakyat.
Mereka juga menegaskan perlunya pengakuan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal sebagai garda terdepan penjaga hutan.
Selain itu, mereka menuntut transisi energi yang adil dengan menghentikan ketergantungan pada fosil, terutama batu bara, serta membuka ruang bagi energi terbarukan berbasis komunitas.
Demokrasi lingkungan yang sehat juga mereka suarakan, yakni dengan menghentikan kriminalisasi aktivis maupun warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup.
Suara ini sekaligus menjadi pesan solidaritas menuju COP30 di Brazil. Indonesia, kata mereka, harus hadir bukan sebagai perusak hutan dunia, melainkan sebagai pelopor perlindungan ekologi dan keadilan iklim.***

