Cerita Disabilitas Banjarmasin Meniti Jalan Kemandirian: Rintis Usaha Camilan, Ikuti Pameran-Pameran UMKM

  • Teks: Riyad Dafhi R.
  • Foto: Riyad/Dok Banjartimes

  • Anggota PPDI Banjarmasin memamerkan produk UMKM seperti telur asin, camilan, dan kerajinan tangan pada BAMARA Fair 2025 untuk memperingati Hari Jadi ke-499 Kota Banjarmasin.
  • Produk dijual dengan sistem pembagian hasil, 80 persen untuk pembuat dan 20 persen untuk kas komunitas, yang dipakai untuk pelatihan dan kegiatan pemberdayaan.
  • Pemerintah mulai melibatkan difabel dalam perencanaan kebijakan, meski masih ada fasilitas publik yang belum ramah akses.

Sejumlah penyandang disabilitas atau difabel menunjukkan bahwa mereka juga dapat mandiri dan berkontribusi lebih bagi masyarakat. Melalui usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), mereka mengembangkan keterampilan serta memperluas kesempatan ekonomi, sekaligus memperjuangkan lingkungan yang lebih inklusif.

Di Bamara Fair 2025, pameran yang digelar untuk memeriahkan Hari Jadi ke-499 Kota Banjarmasin, misalnya, ada produk-produk buatan anggota Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Banjarmasin) tampil menjadi salah satu daya tarik pengunjung.

Acara ini berlangsung pada Sabtu (27/9) hingga Selasa (30/9) di halaman eks kantor Gubernur Kalimantan Selatan, Jalan Jenderal Sudirman, Banjarmasin Tengah.

Aneka camilan gurih dan telur asin dalam kemasan bening tersusun rapi di atas meja panjang bertaplak biru. Di sampingnya, sebuah rak kayu kecil dipenuhi bunga hias berbahan kawat bulu warna-warni, menarik perhatian setiap orang yang lewat.

PPDI Banjarmasin, yang berdiri sejak 2012, memiliki visi memberdayakan anggotanya agar dapat hidup mandiri dan memperoleh kesempatan yang setara. Pameran ini menjadi wadah mereka untuk memperkenalkan karya dan menjangkau lebih banyak konsumen.

Produk andalan PPDI Banjarmasin adalah telur asin Difa. Semua anggota komunitas terlibat dalam proses pembuatannya setelah mendapat pelatihan pada 2024. Pada Sabtu siang, stok telur asin hampir habis terjual, menandakan tingginya minat pengunjung.

Selain telur asin, beberapa camilan lain yang dipajang merupakan hasil kreasi pribadi anggota, seperti Ernawati, warga Sungai Andai.
“Camilan akar pinang, dan keripik ini buatan saya sendiri,” katanya sambil tersenyum.

Ernawati sudah lama menggeluti usaha tersebut. Bagi perempuan berusia 49 tahun ini, keterampilan membuat camilan menjadi tumpuan hidup setelah berbagai penolakan yang ia terima saat melamar pekerjaan.
“Setiap kali ingin melamar kerja, pasti langsung tertolak karena kondisi saya,” ujar Ernawati yang merupakan seorang tunadaksa.

Meski kerap ditolak, ia tak pernah menyerah. Ia memilih mengasah keterampilan dan mengolah bahan sederhana menjadi produk bernilai. Bergabung dengan PPDI Banjarmasin menjadi langkah penting dalam upayanya memperluas jaringan dan pemasaran.
“Walaupun saya sudah bisa membuat produk sebelum bergabung, tapi tetap saja ini sangat bermanfaat. Di sini saya juga mendapat pelatihan dan bertemu banyak teman,” ucapnya.

Organisasi ini juga membuka peluang pemasaran yang lebih luas.
“Sebelum bergabung, produk ini hanya dititipkan dari warung ke warung. Sementara bersama komunitas, kadang ikut pameran. Selain itu saya juga dibantu menjual produk lewat online,” kata Ernawati.

PPDI menerapkan pembagian hasil penjualan yang jelas: 80 persen untuk pembuat produk dan 20 persen masuk ke kas organisasi. Dana yang terkumpul digunakan untuk modal usaha serta berbagai kegiatan, seperti pelatihan, sosialisasi ketenagakerjaan, dan pemeriksaan kesehatan bagi anggota.

Menurut Barniah (49), anggota PPDI lainnya, dalam tiga tahun terakhir mereka rutin diundang mengikuti pameran yang digelar Pemerintah Kota Banjarmasin.
“Barang yang dibawa pun beragam, mulai dari kerajinan perca kain sasirangan, sulaman benang wol, hingga aneka olahan makanan,” ujarnya.

Situasi ini jauh berbeda dibandingkan dulu, ketika dukungan pemerintah masih minim.
“Mungkin karena pemerintah belum tahu kami ada,” kata Barniah.

Kini, perlahan kondisi mulai berubah. “Alhamdulillah, sekarang sudah mulai diperhatikan. Banjarmasin juga masuk kategori kota inklusi. Kami beberapa kali dilibatkan dalam proses penyusunan kebijakan, misalnya musrenbang, terutama terkait infrastruktur,” tambahnya.

Meski demikian, Barniah berharap perhatian pemerintah bisa lebih maksimal. Menurutnya, masih ada sarana publik yang belum ramah disabilitas.

“Contohnya di kawasan wisata siring, masih ada titik-titik yang susah diakses. Padahal kami juga ingin menikmati seperti orang lain,” tutupnya.