Gerakan Lingkungan Hidup di Kalsel Butuh Dukungan Kolektif Demi Menjaga Keberlanjutan

  • Teks: Riyad Dafhi R.
  • Foto: Riyad/Dok. Banjartimes
  • Gerakan lingkungan hidup di Kalimantan Selatan menghadapi tantangan struktural yang makin berat, separuh wilayah provinsi sudah dibebani izin tambang dan perkebunan, menyebabkan kerusakan ekologis dan bencana berulang seperti banjir besar 2021.
  • Advokasi lingkungan kini berhadapan langsung dengan kekuasaan yang bersekutu dengan modal besar, kebijakan pemerintah, termasuk rencana konservasi di Pegunungan Meratus, dinilai mengabaikan hak masyarakat adat dan memperlemah ruang hidup rakyat.
  • Gerakan lingkungan butuh dukungan kolektif dan kesadaran politik rakyat. Tanpa kebersamaan, perjuangan lingkungan di Banua terancam kehilangan napasnya.

BANJARTIMES – Gerakan lingkungan hidup di Kalimantan Selatan memasuki babak yang kian menantang. Di tengah laju ekspansi tambang, perkebunan, dan industri ekstraktif, ruang hidup masyarakat terus menyempit, sementara kekuatan rakyat untuk melawan terfragmentasi.

Isu ini mengemuka dalam diskusi reflektif bertajuk “Konsisten Berdiri Bersama Rakyat untuk Indonesia dan Banua yang Adil dan Lestari” yang digelar di Banjarbaru, Kamis (16/10) malam. Pertemuan itu bukan sekadar memperingati usia ke-45 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), melainkan menjadi ajang perenungan tentang masa depan gerakan lingkungan di Banua.

Dewan Daerah Walhi Kalsel, Gusti Nurdin Iman, menuturkan bahwa sejak awal 1980-an, isu lingkungan di Kalsel berkembang dari sekadar konservasi menuju advokasi yang lebih politis dan berpihak pada masyarakat.
“Walhi pun menjadi bagian dari civil movement. Kami bahkan membuka diri sebagai rumah gerakan rakyat,” ujarnya.

Namun, Nurdin menyebut medan perjuangan kini jauh lebih berat.
“Lingkungan semakin rusak. Konflik ruang hidup bertambah banyak. Perampasan hak masyarakat makin sering terjadi,” katanya.

Dari catatan lembaganya, separuh dari total 3,7 juta hektare luas wilayah Kalimantan Selatan kini telah dibebani izin tambang, perkebunan, dan industri lainnya. Tekanan itu berpuncak pada bencana ekologis seperti banjir besar 2021 yang melanda hampir seluruh kabupaten/kota.
“Ketika banjir terjadi di wilayah hilir, itu menandakan ada masalah serius di hulu,” ujarnya.

Gerakan lingkungan di Kalsel kini berhadapan langsung dengan kekuasaan yang berpadu dengan modal besar.
“Pemerintah berselingkuh dengan oligarki yang makin meraksasa. Tanah yang semestinya untuk rakyat, diserahkan cuma-cuma ke korporasi perusak lingkungan,” tegas Nurdin.

Ia juga mengingatkan agar perjuangan lingkungan tidak terjebak dalam slogan konservasi semata. Salah satu yang disorot adalah rencana penetapan Taman Nasional di Pegunungan Meratus yang dinilai mengabaikan masyarakat adat.
“Model konservasinya menghilangkan hak hidup masyarakat dan nilai spiritual mereka. Padahal masyarakat adat sudah menjaga Meratus ribuan tahun,” tuturnya.

Berdasarkan pengamatan citra satelit, wilayah yang masih dihuni masyarakat adat justru menjadi kawasan paling hijau di Kalsel.
“Yang paling kami khawatirkan, ketika Meratus dipisahkan dari penjaga aslinya, akan ada risiko besar yang mengancam kelestariannya,” ujarnya.

Krisis ekologis juga dinilai berkelindan dengan krisis moral dan politik. Nurdin menyinggung minimnya suara para pemuka agama dalam menyuarakan keadilan lingkungan.
“Kita ini daerah religius, tapi hampir tidak ada pemuka agama yang berani menyatakan bahwa bencana ini akibat kerakusan oligarki,” katanya.

Eks Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono, menegaskan bahwa masa depan lingkungan Banua bergantung pada kesadaran politik masyarakat.
“Jangan berikan suara kepada orang yang tidak amanah. Krisis lingkungan kita juga krisis kepemimpinan,” ujarnya.

Menurutnya, hampir seluruh kepala daerah di Kalsel kini dikelilingi oleh jejaring oligarki, sehingga gerakan lingkungan tak bisa berdiri sendiri.
“Walhi perlu kawan, butuh dukungan kolektif. Duit bisa kalah, tapi kalau kawan banyak, kita bisa menang,” katanya.

Kisworo menutup dengan pesan sederhana namun tajam: solidaritas adalah napas terakhir gerakan.
“Kita krisis keteladanan, krisis saling percaya. Kalau tidak bisa bekerja sama, setidaknya jangan saling mengganggu. Jangan malu dan jangan takut untuk berbuat baik,” ujarnya.