Jentaka

  • Teks: Musa Bastara
  • Foto: Freepik/Ilustrasi

BERITA perundungan baru-baru ini membuat ingatan saya ditarik ke masa-masa sekolah, saat saya lebih ramping dan boncel dari hari ini. Beberapa teman menjuluki saya “tikus kurus”.

Ketika memanggil saya dengan julukan itu, mereka tertawa-tawa. Saya nggak bisa ketawa karena lelucon yang nggak dapat saya mengerti letak lucunya.

Saya tak keberatan dengan sebutan kurus, sebab memang begitu faktanya. Tapi membandingkan tubuh manusia dengan hewan jelas adalah jentaka yang sudah sepatutnya dibuang ke selokan.

Perundung bahkan juga datang dari orang yang saya anggap mampu membela. Saya pernah direndahkan wali kelas saat meraih ranking dua hanya semata-mata karena saya bloon di mata pelajarannya; matematika.

Saya cuma salah satu orang. Beberapa teman yang hingga kini masih saya kenal akrab, mungkin mendapat perundungan yang jauh lebih buruk dari teman-teman sebaya.

Perundungan, apapun jenisnya, adalah mekanisme kolektif yang berisiko mengikis kepercayaan diri, martabat, dan identitas seseorang. Ia menciptakan kerusakan berkepanjangan.

Perundungan juga dapat merenggut bahasa, kemampuan untuk mengungkapkan apa yang telah kita alami.

Saya tak mengenal Timothy Anugerah Saputra. Saya hanya melihatnya dalam beberapa postingan yang berseliweran di media sosial.

Saya menduga ia tipikal orang yang dengan tulus menyodorkan tangan saat kamu tersungkur di situasi serba kacau, alih-alih kocar-kacir.

Terkadang untuk merasa bersimpati, tak perlu menakar identitas. Untuk berdiri di sisi korban, tak butuh merasakan penderitaan yang sama pahit.

Setiap orang bisa mempelajari banyak hal di sekolah, tapi cuma jadi sebongkol jagung tanpa belajar belas kasih.

Barangkali kita menyayangkan akhir yang dipilih Timothy. Untuk sembuh, ia harus mencapai titik terendah. Tapi kita nggak bisa menghakimi atau menuding tindakannya sebagai sama sekali salah.

Tommy Tran, seorang penulis asal Amerika tak sepakat jika mencurangi takdir adalah tindakan paling pengecut.

“Itu sama sekali nggak benar. Yang pengecut itu memperlakukan seseorang dengan buruk sampai-sampai ia pengin bunuh diri,” ujarnya.

Saya kira kita tak keberatan mengatakan jika kepergian Timothy terasa seperti direnggutkan.

Dunia ini suram dan anjing. Dan akan selalu ada konsekuensi yang tak dapat diubah dari penindasan

Orang boleh mengeklaim bahwa dirinya adalah orang paling menderita sedunia, tetapi setiap luka dan kesedihan adalah milik masing-masing.

Tak ada alat yang bisa mengukur secara akurat kesedihan satu sama lain.

Dari kasus Timothy, kita belajar bahwa perundungan bukan urusan sepele seperti menawar barang belanjaan.

Penulis Cindi Seddon mengungkap, penjara dipenuhi dengan penjahat yang awalnya menjadi pelaku perundungan.

Penelitian di Universitas Montreal juga menunjukkan bahwa perundungan bisa mengubah struktur gen yang berperan dalam mengatur suasana hati.

Simpelnya, laku durjana itu membuat korban lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental seiring bertambahnya usia.

Bahkan jika dirunut lebih panjang, akibatnya membikin seseorang kesulitan membentuk hubungan yang langgeng, berintegrasi dengan perkerjaan, dan mencapai kemandirian ekonomi.

Lieberman pernah menelusuri kumpulan hinaan di internet. Ia mendapat enam perangkat dominan yang berulang digunakan perundung: penampilan, kecerdasan, ras, etnis, seksualitas, atau penerimaan dan penolakan sosial.

“Orang bilang ada banyak cara untuk melakukan perundungan,” kata Lieberman dalam majalah Atlantic, “tetapi 95 persen postingan membahas enam topik itu.”

Sementara Sam Dean dalam artikelnya The Joy of Being a Jerk, menulis tentang nikmatnya menjadi perundung. Sebuah studi dari Fakultas Kedokteran Icahn di Mount Sinai, menemukan bahwa perundungan itu menyenangkan dan beresonasi dengan saraf otak.

Untuk membuktikannya, para peneliti memakai sekumpulan tikus jantan agresif sebagai pengganti manusia.

Buat menciptakan lingkungan aman, peneliti mengebiri otak tikus-tikus dengan menyuntikkan virus fluoresen ke otak basal depan. Hasilnya magnifico. Para perundung jadi kehilangan minat merundung.

Mungkinkah itu jadi hukuman setimpal untuk sebelas perundung yang telah kehilangan empati atas kematian Timothy tersebut?

Jelas para perundung itu, meski terlihat terpelajar, tak membaca Cicero.

Dalam On Duties, Cicero berpesan: Bicara dengan jelas. Jangan kelewat bacot. Pastikan semua orang punya kesempatan ngomong. Jangan menyela. Jangan mengkritik orang lain di belakang mereka. Jangan marah atau malas. Itu sudah aturannya.

Dan benar adanya, sebelum pintar, belajarlah soal moralitas dan etika.

Kita tentu tak pengin anak-anak kita di hari-hari mendatang bernasib senahas Timothy. Kita tak mau mereka dirundung, diisolasi, dan dilukai secara sosial.

Sebab perundungan adalah epidemi. Ia akan terus beranak pinak selagi penindasan diwajarkan. Itu sudah menjadi kewajiban moral setiap manusia untuk menghentikannya.

Kita beruntung, karena rasa simpati yang masih pijar, kita punya rasa ikut ambil bagian (a sense of taking part). Itulah yang perlu kita rawat hari-hari ini. Semangat yang lebih toleran.

Nggak ada tempat yang layak bagi perundungan, sebetapapun kecilnya. Sekecil grup alumni sekolah.

Kita bisa memperingatkan pelaku perundungan, tetapi yang nggak kalah pentingnya adalah memberi dukungan kepada korban. Untuk belajar banyak hal, cukup hanya ada satu Timothy.