- Teks: Donny Muslim
- Foto: Podcast Jarang Ketemu
BANJARTIMES– Tiga komika asal Banjarmasin, Agung, Fikri, dan Egar, resmi meluncurkan buku kumpulan cerpen berjudul Al-Kisah, Minggu (24/8). Buku yang berisi 30 cerita ini menjadi langkah baru mereka menyalurkan humor, dari panggung stand up, podcast, hingga ke medium tulisan.
Agung menuturkan, ide membuat buku awalnya berangkat dari ejekan. “Teman kami yang lain bikin podcast lalu merilis merchandise kaos bergambar wajah mereka. Kami bertiga sempat ngejekin, karena merasa mereka terlalu percaya diri. Tapi ejekan itu jadi boomerang, karena ketika kami ingin merilis merchandise, opsi kaos dengan wajah kami malah nggak jadi pilihan,” ceritanya.
Momentum itu bertemu peluang. Salah satu rekan mereka bekerja di penerbit indie yang memang tengah mencari naskah komedi. Dengan latar belakang di komunitas Stand Up Indo Banjarmasin serta kebiasaan bersiniar di Podcast Jarang ketemu, Agung dan kawan-kawan akhirnya sepakat menulis buku.
Tiga Puluh Cerita, Tiga Warna
Format kumpulan cerpen dipilih karena dianggap lebih ringan untuk penulis pemula. “Aku modalnya dari nulis naskah film, Fikri pernah beberapa kali nulis di Wattpad, dan Egar rutin nulis cerita pendek di medsos,” kata Agung.
Dalam Al-Kisah, masing-masing menyumbang sepuluh cerita. Proses kreatif pun berjalan sendiri-sendiri. “Jawaban diplomatisnya supaya tidak merusak gaya tulisan. Jawaban aslinya: menulis itu menguras energi, jadi ketimbang mencampuri tulisan orang lain, kami bertarung dengan tulisan kami masing-masing,” ujarnya.

Meski sebagian ide besar datang dari keresahan di stand up, menurut Agung, komedi di atas panggung tetap harus diolah ulang agar terasa runut ketika dibaca. “Kalau unggulan mungkin beberapa ceritanya Egar. Kami juga nggak menyangka tulisan Egar paling lucu di antara kami,” katanya.
Harapan dan Rencana
Bagi mereka, Al-Kisah bukan hanya upaya menghibur, tapi juga pengingat personal. “Harapannya yang membaca bisa terhibur. Buat kami yang nulis juga sebagai bahan mengingat cerita-cerita hidup kami, dan kalau ada yang bisa dipetik, alhamdulillah,” ucap Agung.
Proses penerbitan memang ditangani penerbit, tapi konsep, visual, dan deadline tetap mereka atur. “Harapannya pembaca bisa menikmati tulisan kami, bahkan ejek aja kalau merasa kurang puas. Penulis dengan tulisan kurang oke ini aja PD buat nerbitin buku,” katanya.
Ke depan, mereka sempat berencana menjadikan Al-Kisah proyek tahunan, meski untuk saat ini masih sebatas obrolan nongkrong. “Susah ya ternyata jualan buku. Jadi harapan paling besar ya semoga laris manis,” tambah Agung.
Meski begitu, ia menegaskan menulis bukan ambisi menjadi sastrawan. “Kalau gasan aku pribadi, aku kada handak jadi sastrawan. Nulis gasan aku tuh cuma gasan ‘membuang tahi di kepala ja’. Kaya ada perasaan senang aja cerita yang ada di kepala kita kawa dibaca orang lain jua,” ujarnya.***