Lima Mahasiswa Kalsel Teliti Fenomena Racun Sangga, Bedah dari Sisi Medis hingga Psikologis

  • Teks: Donny M.
  • Foto: Tim PKM-RSH UMBJM
  • Racun Sangga diteliti dari sisi medis, psikologis, dan spiritual agar pemahaman lebih utuh, tidak hanya melihatnya sebagai fenomena mistis.
  • Tim menggunakan pendekatan etnografi, tinggal bersama masyarakat, mewawancarai korban, tokoh adat, tenaga medis, dan tokoh agama.
  • Penelitian ini bertujuan membuka ruang dialog kritis serta mendorong pengurangan praktik yang merugikan, sembari menggabungkan kearifan lokal, ilmu pengetahuan, dan nilai keagamaan.

BANJARTIMES– Racun Sangga, praktik ilmu hitam yang lama hidup dalam cerita rakyat Kalimantan, kini diteliti secara akademik oleh lima mahasiswa Universitas Muhammadiyah Banjarmasin (UMBJM).

Riset ini dilakukan lewat Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH). Tim dipimpin Abdus Salam, dengan anggota Hamidatul Janah, Amalia, Ananda Yasyfa Nurhaliza Sugita, dan Muhammad Farid Fikriansyah.

Mereka menggunakan pendekatan etnografi dengan tinggal di tengah masyarakat, mewawancarai korban, tokoh adat, tenaga medis, dan tokoh agama.

“Korban Racun Sangga biasanya mengalami gatal-gatal, bintik berisi cairan, hingga nyeri hebat. Tapi saat diperiksa secara medis, hasil laboratorium tidak menunjukkan penyebab yang jelas. Hal ini membuat kami tertarik untuk menelitinya lebih dalam,” kata Abdus Salam, Senin (22/9/2025).

Dalam penelusuran tim, Racun Sangga dikenal luas sebagai praktik ilmu hitam yang dikirim melalui perantara khodam atau jin. Proses pengiriman biasanya dilakukan oleh dukun dengan bantuan mantra dan sesajen tertentu. Konon, semakin kuat ritual yang dilakukan, semakin parah pula dampak yang dirasakan oleh korban.

Namun, alih-alih berkutat pada praktik ilmu hitam belaka, dalam riset ini, mereka memberi pemahaman bahwa Racun Sangga dipahami dari tiga dimensi: medis, psikologis, dan spiritual.

Secara medis, korban menunjukkan luka seperti infeksi kulit yang sulit dijelaskan. Secara psikologis, mereka sering mengalami ketakutan, kecemasan, hingga trauma sosial. Sementara dari sisi spiritual, praktik ini dipandang sebagai sihir atau kutukan.

“Fenomena Racun Sangga menunjukkan hubungan erat antara kesehatan fisik, mental, dan spiritual. Bukan hanya mistis, tapi juga tantangan bagi tenaga medis, psikolog, dan tokoh agama untuk bekerja sama,” ujar Salam.

Ia menegaskan, tujuan penelitian ini bukan sekadar membuktikan benar atau tidaknya Racun Sangga, melainkan memberi pemahaman yang lebih rasional dan utuh. Tim juga merekomendasikan pengurangan praktik yang berpotensi merugikan orang lain.

“Selama ini masyarakat terjebak dalam stigma dan ketakutan. Kami ingin riset ini jadi ruang dialog antara kearifan lokal, ilmu pengetahuan, dan nilai keagamaan,” tutup Abdus Salam.***