- Teks: Riyad Dafhi R.
- Foto: Riyad Dafhi/Dok Banjartimes
- Instruksi Menhub No. 3/2025 menyamakan standar kapal sungai dan danau dengan kapal laut, memicu biaya tinggi dan prosedur perizinan yang rumit.
- Pemilik kapal mengeluhkan biaya dokumen mencapai ±Rp18 juta per kapal tiap tiga bulan, jauh lebih mahal dibanding aturan lama yang hanya diperbarui setahun sekali.
- Kapten kapal wajib sertifikasi formal meski berpengalaman, dikhawatirkan membuat banyak usaha kapal sungai gulung tikar jika aturan dipaksakan.
BANJARTIMES— Para juragan kapal di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Kalselteng) kompak menolak rencana penerapan Instruksi Menteri Perhubungan Nomor 3 Tahun 2025.
Mereka yang tergabung dalam Asosiasi Ikatan Kapal Sungai dan Danau (IKASUDA) itu menyampaikan keberatan mereka pada forum sosialisasi yang digelar Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Kelas I Banjarmasin di kantornya, Jalan Duyung Raya, Kelurahan Telaga Biru, Senin (22/9).
Aturan baru ini ditentang karena menyamakan kategori kapal yang beroperasi di sungai dan danau dengan standar kapal laut.
Konsekuensinya, berbagai kewenangan—mulai dari pengurusan dokumen, sertifikasi, hingga surat persetujuan berlayar dan izin-izin lainnya, dialihkan dari Dinas Perhubungan ke otoritas laut/KSOP.
Perubahan ini dikhawatirkan menambah beban, mulai dari penyesuaian standar kapal, prosedur baru yang dianggap lebih rumit dibanding sebelumnya, hingga ongkos pengurusan izin yang berpotensi jadi lebih besar.
Beberapa pemilik kapal bahkan sempat mendengar desas-desus kabar untuk mengurus segala izin kapal diminta biaya hingga Rp250—Rp500 juta.
Selain itu, kapten kapal yang selama ini bekerja dengan hanya berbekal pengalaman juga diwajibkan menempih pendidikan formal untuk memperoleh sertifikasi resmi.
Sederet ketentuan semacam ini dianggap memberatkan dan mengancam keberlangsungan usaha mereka.
Apa Kata Pemerintah?
Kasubdit Keselamatan Kapal Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut di Kementerian Perhubungan, Maltus Jackline Kapistrano menyatakan, isu tingginya biaya pengurusan dokumen tidak benar.
Dijelaskannya, semua biaya mengacu pada PP Nomor 15 Tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Soal biaya yang disebut sampai ratusan juta itu tidak benar. Semua sudah diatur secara transparan dalam PP 15/2016,” katanya.
Regulasi ini, diklaimnya, juga tidak akan memberatkan, malahan memudahkan. Tata kelola dibuat lebih baik tanpa menambah beban administrasi.
“Perizinan bahkan bisa diurus secara online, sebagai bagian dari penerapan prinsip good governance di lingkungan Ditjen Perhubungan Laut,” ujarnya.

Terkait pro-kontra di lapangan, Maltus menilai hal itu wajar dalam setiap proses penyusunan kebijakan.
“Ini kan masih dalam tahap pengalihan fungsi, jadi butuh waktu untuk pembenahan. Kami terbuka menerima masukan dari asosiasi agar tata kelola ke depan bisa lebih baik dan membantu operasional angkutan sungai, danau, serta penyeberangan,” paparnya.
Belum Menjawab Keraguan
Meski sudah mendapat penjelasan, anggota IKASUDA, Adi menilai sosialisasi belum mampu menjawab keraguan mereka.
Karena, biaya pengurusan izin kapal yang mengacu pada PP 15 Tahun 2016 tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
“Faktanya berbeda. Aturan ini justru memberatkan kapal-kapal sungai,” ujarnya.
Adi mencontohkan, untuk menghidupkan satu dokumen saja biayanya bisa mencapai Rp3 juta. Setiap kapal memerlukan setidaknya enam dokumen, sehingga total dana yang harus disediakan sekitar Rp18 juta. Lebih berat lagi karena dokumen-dokumen itu kini wajib diperbarui setiap tiga bulan sekali.
“Berbeda dengan aturan lama, kami hanya cukup memperbaharui izin sekali setahun di Dinas Perhubungan. Sekarang biayanya besar dan sangat merepotkan,” keluhnya.
Dari hasil kalkulasi itu, ia mengaku, pendapatan sewa kapal sungai jelas tidak mampu menutup biaya.
“Sewa kapal kecil, misalnya, hanya Rp25 juta. Belum dipotong gaji karyawan, BBM, dan biaya lain. Sedangkan, iklim usaha perkapalan sedang lesu, jelas tidak sebanding,” bebernya.
“Kalau kapal laut wajar, karena penghasilan mereka besar. Ketika kapal sungai dipaksa mengikuti standar itu, inilah yang membuat kami keberatan,” tambahnya.
Selain biaya, aturan baru juga mewajibkan kapten kapal mengikuti sekolah untuk memperoleh sertifikat resmi.
Padahal, banyak kapten kapal sungai sudah puluhan tahun berpengalaman tanpa pernah menimbulkan masalah.
“Kalau aturan ini dipaksakan, banyak usaha kapal sungai akan mati. Bahkan ada teman-teman yang kapalnya sudah dijual karena dokumennya tidak bisa diperpanjang,” ungkapnya.
Adi berharap pemerintah tidak hanya berpegang pada aturan yang dibuat di belakang meja.
Pertimbangkanlah kenyataan di lapangan. “Kalau seperti ini, kapal tidak bisa jalan, dokumen mati, dan akhirnya rakyat kecil yang jadi korban. Kami tetap menolak. Batalkan aturan ini,” tekannya.
Ketua IKASUDA Kalsel: Kami Menolak Sampai Ada Kejelasan
Senada, Ketua IKASUDA Kalsel, Maulana juga masih sangsi terhadap penjelasan yang disampaikan pejabat Kementerian Perhubungan.
“Untuk saat ini, sikap kami tetap menolak sampai ada kejelasan antara IKASUDA dengan KSOP. Apa yang dipaparkan belum tentu bisa terealisasi di lapangan,” tegasnya.
Harapannya, pelaku usaha perkapalan sungai dan danau di Kalselteng seharusnya mendapat perlakuan khusus, terutama jaminan bahwa ongkos pengurusan izin tidak akan mahal dan berbelit-belit.
“Kalau nanti sudah ada kesepakatan hitam di atas putih, barulah kami bisa mendukung. Tapi sebelum itu, kami belum bisa menyetujui,” ujarnya.
Jika aturan tetap dipaksakan tanpa adanya kejelasan, mereka siap menggelar aksi unjuk rasa di KSOP Kelas I Banjarmasin.***

